Indonesia adalah negeri dalam
lingkaran konflik dan
kerusuhan yang tak kunjung henti. Aksi kekerasan yang melibatkan seluruh elemen
di kawasan Indonesia, dimulai
akhir 1990-an, memasuki Orde Reformasi hingga sampai saat ini masih banyak
kejadian yang selalu merenggut nyawa. Ada konflik yang melibatkan satu etnis
dengan etnis lain, agma satu dengan agama lain, dan beberapa konflik yang tidak
diketau sebab pastinya. Konflik antar etnis dimulai antar suku Madura dan Dayak yang
meletus di Pontianak dan Palangkaraya, berikutnya di areal lain, konflik antar
suku tanah Papua yang sebagai api dalam sekam, yang samapi saat ini belum bisa
dituntaskan, tragedi pembantaian suku bali yang ada di profinsi lampung dan
masih banyak konflik-konflik lain.
Konflik antar
agama yang diawali ledakan
bom, dan pembakaran rumah-rumah ibadah di bebrapa daerah seperti di Kupang, 30
November 1998 terjadi kerusuhan selama 3 hari, merambak ke So’e dan pulau Rote,
yang mengakibatkan sejumlah masjid, sekolah dan asrama haji menjadi sasaran
kalangan kristen. Hal yang sama di Situbondo pada 10 Oktober 1996 yang
menyebabkan beberapa gedung gereja dan sekolah Kristen terbakar, kerusuhan
Tasikmalaya 26 Desember 1996 yang berdampak terbakarnya sejumlah gereja, Vihara, Kelenteng dan lain-lain.
Rasa kebangsaan (Nasionalisme)
kita sebagai warga bangsa Indonesia nempaknya kembali pertenyakan setelah melihat serentetan
kerusuhan diatas menimpa Indonesia. Padahal pada dasarnya kerukunan dan saling
menyelamatkan merupakan tujuan dan cita-cita bersama bangsa Indonesia separti
yang tertera pembukaan UU dasar 19945 “ Perdamaian abadi dan keadilan bagi
seluruh rakyat Indonesia”. Dalam mewujudkan kenyataan itu tidak mudah, Indonesia
sebagai negara paling mejemuk di dunia, baik dalam hal kondisi fisik geografis,
keberagaman suku bangsa, berbagai faktor Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial, serta
keberagan keyakinan, secara otomatis yang sangat berpotensi terjadinya
ketegangan dan konflik.
Pancasila yang mengandung
nilai-nilai filosofis unifersal dengan prinsip “Bineka Tunggal Ika” nya, digali
dari bumi pertiwi kita dan disepakati sebagai konsensusu menjadi dasar negara
Republik Indonesia. Selain itu peran agama sangat
berpengaruh besar dalam kehidupan masyarakat karena agama merupakan bangunan
hati masyarakat. Geertz memandang agama sebagian dari sistem
budaya. Hal itu melihat kegiatan agama merupakan hal luarbiasa dan khas.
sebagai bagian dari sistem budaya ciri kunci agama adalah ide tentang
‘makna’atau ‘signifikansi. Mengutip dari Max Weber, Geertz yang mengatakan, “Manusia adalah
seekor binatang yang digantung di jaring makna yang ia
bentangkan sendiri”.
Jaring yang dimaksut adalah budaya, termasuk agama.
keragaman merupakan fenomena
dan kebutuhan universal manusia. Memahami agama selain dapat dilakukan melalui
ajaran yang tertuang dalam kitab suci, juga dapat dipahami lewat fenomena
keagamaan. Agama pra-agama historis atau agama besar dunia menyimpan
unsure-unsur yang dapat dijadikan referensi bagi kehidupan kolektif yang
toleran dan damai. Islam memerintah kepada kaumnya agar selalu dalam
perdamaian, seperti dalam kandungan QS.Al-Baqoroh {2}:208). “Wahai orang-orang
yang beriman, masuklah dalam kedamaian itu secara total”. Ajaran yang sama
diberikan oleh agama Kristen yang berbunyi ”Berbahagialah Orang-orang yang
membawa damai, karena mereka akan disebut anank-anak Allah. (Khutbah di Bukit,
Matius 5:9)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar